Selasa, 18 Desember 2012

Club Pathfinder Amati Burung Pulau Rambut

Mengamati burung langsung di alam

Pagi itu, 15 November 2012, jam menunjukkan pukul 07.00, saat Club Pathfinder dan TRASHI bersiap menuju Tanjung Pasir, Tangerang. Di lokasi tujuan, sudah menunggu kapal yang akan mengantar peserta mengarungi Teluk Jakarta menuju Pulau Rambut. Perjalanan ke Pulau Rambut ini dalam rangka memfasilitasi teman-teman dari Club Pathfinder untuk belajar lingkungan langsung di alam. Perjalanan Tanjung Pasir - Pulau Rambut ditempuh dalam waktu 30 menit. Cuaca hari itu sangat bersahabat sehingga kami bisa tiba di pulau tepat pada pukul 09.00. 

Tidak berapa lama kemudian, sesi belajarpun dimulai. Peserta yang berjumlah 18 orang ini terdiri dari siswa kelas 4 sampai kelas 9. Untuk memudahkan penyampaian materi, kelompok ini kemudian dibagi menjadi dua kelompok. Di sesi awal, kakak dari TRASHI menceritakan sejarah Pulau Rambut. 

"Yuuk, teman-teman kita berkumpul. Selamat datang di Pulau Rambut. Pulau ini merupakan suaka margasatwa serta sekaligus surganya burung air dan burung migran" sambut Ilham Khoiri, fasilitator pendidikan lingkungan TRASHI. Pulau Rambut memiliki luas 90 hektar, yang terbagi antara daratan dan perairan, dengan luas masing-masing 45 hektar. "Pulau Rambut merupakan kawasan RAMSAR, yaitu wilayah perlindungan alam yang diakui secara Internasional" jelas Ilham. Pulau ini menjadi habitat burung air sekaligus tempat persinggahan burung-burung yang melakukan migrasi, ujarnya. Ilham menjelaskan, sebagai kawasan konservasi, ketentuan masuk Pulau Rambut, harus dilengkapi dengan surat izin yang dikeluarkan oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam DKI Jakarta. 

"Kegiatan kita hari ini dibantu oleh para penjaga pulau, kenalkan Pak Edi dan Pak Budi," terang Ilham saat memperkenalkan staf Polisi Kehutanan BKSDA yang akan menemani berkeliling pulau. "Teman-teman sudah siap mengamati burung?" tanyanya. "Siap kakak!" seru para peserta dengan semangat. 

"Kakak itu burung apa?" tanya seorang peserta sesaat memasuki pintu gerbang hutan Pulau Rambut. Para fasilitator kemudian mengajak peserta untuk membuat sketsa burung tersebut. "Kalian mau tahu nama burung itu? Buat dulu sketsanya di kertas, nanti kita bandingkan dengan gambar yang ada di buku kakak," jelas Ilham ke peserta. Ilham menambahkan, bahwa gambar sketsa yang dibuat tidak perlu mirip dengan aslinya. hal yang terpenting adalah mencantumkan keterangan yang jelas, seperti warna bulu, bentuk paruh dan hal-hal unik lainnya. Gambar sketsa yang dibuat ini kemudian dijadikan acuan pengenalan nama jenis burung dari buku daftar burung.

Presentasi hasil oleh peserta kegiatan 

Pengamatan burung tidak hanya dilakukan dari bawah saja. Kakak fasilitator juga mengajak para peserta untuk naik ke menara pengamatan. Dari atas menara ini, peserta dapat memandang luas ekosistem hutan mangrove yang hijau yang diselilingi warna putih di beberapa pucuknya. Warna putih tersebut merupakan warna bulu burung yang hinggap di pucuk-pucuk pohon mangrove. 

"Woooow !! kak keren dan besar besar banget ya burungnya," sahut seorang peserta dengan perasaan terkagum saat melihat seekor Cikalang christmans dan Elang laut perut putih melintas di dekat menara. Kesempatan itupun aku manfaatkan untuk menyisipkan pesan moral ke para peserta bahwa kita harus menjaga ekosistem hutan mangrove agar kelangsungan burung-burung tersebut tetap terjaga.

Club Pathfinder, peserta edukasi Pulau Rambut

Tidak terasa sudah 2 jam kami berada di hutan Pulau Rambut, saatnya kembali ke pos jaga untuk istirahat makan siang serta melanjutkan sesi presentasi dari setiap kelompok. Sebelum presentasi para peserta di minta untuk membuat laporan hasil pengamatan yang telah mereka lakukan tadi. Hasil presentasi dan laporan mereka cukup mengesankan. Dalam  tempo singkat, ternyata mereka sudah memahami kekayaan alam yang tersimpan di surga burung Pulau Rambut. Sesi presentasi selesai pukul 13.00, dan kamipun melakukan sesi foto bersama sebelum menuju ke perahu dan berlayar kembali ke Jakarta. (Ilham Khoiri -TRASHI)

Tentang Penulis:
Nama Ilham Khoiri biasa dipanggil Iam. Pria bertubuh tambun ini punya banyak mimpi dan cita-cita. Bergabung di Transformasi Hijau sebagai volunteer di awal tahun 2012 dan saat ini menjadi pengelola X-TRASHI, sebuah divisi wisata edukasi Transformasi Hijau. Teman-teman yang ingin belajar sambil berwisata di Kepulauan Seribu, silakan hubungi 085772181847 (iam) twitter: @iamkhoiri fb: ilham khoiri iam email: iamkhoiri@gmail.com  banyak keunikan yang akan terjadi di wisatamu yang tidak kamu temukan di tempat lain.

Jumat, 14 Desember 2012

Biopori: Flash Mob a la TRASHI

Aksi Debora, Dewa dan Joshua saat membuat biopori

“Kakak, aku sudah dalam neh”, ujar Debora dengan terus memutar ke kiri dan kanan bor biopori yang dia pegang, usianya mungkin baru sekitar 11 tahunan.  Bersama dengan dua adik laki-lakinya, Dewa dan Joshua, mereka sibuk dan tampak serius memutar-mutar bor yang mereka pegang masing-masing.  

Itu adalah cukilan dialog saat TRASHI bersama Young Transformers, Green Camp Halimun, Koalisi Pejalan Kaki dan siswa SMK 32 melakukan pembuatan lubang biopori di taman Monumen Nasional. Acara yang dilakukan pada hari Minggu, 09/12/2012 lalu ini merupakan salah satu wujud kegiatan TRASHI di ruang terbuka hijau Jakarta.

Kegiatan yang didukung oleh Dinas Pertamanan DKI Jakarta ini, lebih cocok dibilang aktifitas mob. Layaknya genre tarian flash mob, yang sedang marak saat ini, aktifitas pembuatan biopori ini di mulai oleh 5 orang saja. Kegiatan yang nampak aneh bagi beberapa pengunjung Monas ini, akhirnya menarik mereka untuk mendekat, melihat dan akhirnya terlibat untuk mencoba membuat lubang biopori.

Salah satu peserta bertanya, "Untuk apa kita membuat lubang resapan biopori?" Alasannya cukup sederhana. Permukaan tanah di Jakarta saat ini sudah banyak yang ditutup dengan semen dan aspal. Kondisi ini menyebabkan air hujan yang mengalir di atasnya susah meresap ke dalam tanah. Sehingga munculah  banjir. Teknik pembuatan lubang biopori ini, merupakan salah satu cara untuk membantu air lebih mudah meresap ke dalam tanah.

"Melubangi taman Monas ini merupakan awal perkenalan kegiatan TRASHI di ruang terbuka hijau" ujar Edy Sutrisno. Kegiatan serupa akan dilakukan di beberapa taman kota Jakarta, tentunya dengan melibatkan para pengunjung yang berada di lokasi tambah Edy. Upaya ini dilakukan untuk mensosialisasikan pentingnya perawatan ruang terbuka hijau kota dengan melibatkan komunitas serta para pengungjung, karena kelestarian lingkungan tidak hanya tanggung jawab pemerintah saja, namun perlu juga dukungan semua lapisan masyarakat, terangnya. 

Selain berfungsi mengurangi potensi banjir, cara ini juga sangat membantu pengisian ulang cadangan air tanah. Caranya sederhana, cari lahan terbuka, bisa tanah lapang, atau taman bahkan selokan, lalu siapkan bor biopori. Membuatnyapun mudah, tinggal tancapkan bor ke tanah dan putar searah jarum jam. Kedalaman maksimal adalah 1 meter. Setelah lubang siap, masukkan sampah organik seperti daun ke dalamnya. Sampah organik ini akan menjadi makanan hewan tanah seperti cacing. Cacing inilah yang nantinya membantu membuat terowongan kecil dalam tanah, sehingga memudahkan peresapan air sampai jauh ke dalam tanah. Mudah sekali bukan? 

"Pembuatan lubang biopori ini ternyata mudah juga dan alatnya sederhana. Nanti di rumah, saya mau juga membuat lubang biopori" ujar Anthony dari Koalisi Pejalan Kaki. Saya akan mengajak teman saya untuk membuat lubang biopori. Dia punya halaman yang cukup luas. Jadi lumayan, kalau dibuat biopori, tentu jumlah air yang dapat meresap ke dalam tanah semakin banyak, jelasnya dengan penuh semangat sembari membuat lubang biopori.

Tunggu aksi mob kami selanjutnya di taman kota Jakarta 2013. Jika teman-teman beruntung, bisa langsung ikut bergabung. Jadi sering-seringlah bermain ke taman kota untuk terlibat kegiatan menarik dari TRASHI berikutnya. Be there! (Edy Sutrisno & Hendra Aquan)


Sabtu, 08 Desember 2012

Anak-Anak Tokyo Lestarikan Jalak Bali


Ada yang pernah tahu Jalak bali? Burung ini merupakan satwa endemik Taman Nasional Bali Barat (TNBB). Orang Bali menyebutnya sebagai si Jegeg. Kenampakannya hampir mirip dengan Jalak putih yang saat ini sedang disurvei oleh TRASHI bersama Oriental Bird Club. Kepala Balai TNBB, Bambang Darmadja, mengungkapkan bahwa populasi Jalak bali tinggal 180 ekor saja. Maka tidak heran jika satwa ini dinyatakan berstatus kritis oleh The International Union for Conservation of Nature (IUCN).

Dongeng dan uchiwa untuk galang donasi konservasi Jalak bali


Kritisnya status kelestarian Jalak bali ini membuat beberapa lembaga konservasi dari luar negeri ikut terlibat di dalamnya. Salah satu lembaga tersebut adalah i-inet, sebuah LSM konservasi dari Jepang. LSM Jepang tersebut melakukan program pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan TNBB.

Saat saya bertandang ke TNBB dan bertemu dengan teman dari i-inet, mereka bercerita bahwa upaya kampanye penyelamatan Jalak bali juga dilakukan di Tokyo, Jepang untuk menggalang dana kegiatan konservasi yang dilakukan di TNBB. Wah ini merupakan hal yang luar biasa. Mengajak orang yang jauh dari habitat Jalak bali untuk ikut terlibat dalam kegiatan konservasi? Sepertinya ini hal yang tidak mungkin dilakukan.

Dari pengalaman yang mereka bagikan, ternyata cara yang dilakukan i-inet jauh dari kesan hebat dan keren untuk negara maju seukuran Jepang. Teman-teman i-inet melakukan penggalangan dana dan dukungan melalui dongeng untuk anak-anak dan berkreasi dengan "uchiwa" kipas Jepang. Beberapa saat saya mencoba mencerna dan menunggu kalimat lain yang lebih keren lagi. Ternyata tidak ada. Wow, ternyata sedemikian hebatnya dampak dongeng dan kreasi, sehingga bisa menggalang dukungan dana untuk konservasi Jalak bali yang hidup ribuan kilometer jauhnya dari Tokyo. 

Dongeng tersebut dilakukan dalam sebuah festival di Tokyo. Peralatan yang digunakan juga terhitung minimalis, yaitu berupa lembaran kertas berukuran A4 yang berisi gambar-gambar Jalak bali di habitat aslinya. Gambar tersebut juga dilengkapi dengan alasan mengapa Jalak bali perlu dilestarikan.

Usai dongeng, dilanjutkan dengan bekreasi dengan uchiwa. Bahan yang disiapkan adalah potongan-potongan gambar Jalak bali serta pepohonan tempat hidupnya. Anak-anak kemudian diminta untuk berkreasi dengan menggunting dan menempel serta mewarnai uchiwa dengan gambar yang sudah disediakan. Anak-anak yang terlibat dalam kegiatan ini dikenakan donasi yang kemudian dikumpulkan untuk kemudian diserahkan ke masyarakat sekitar TNBB. Setelah itu, mereka diminta menuliskan pesan dan kesan mereka pada selembar kertas. Pesan dan kesan tersebut kemudian ditempelkan pada kertas yang berbentuk batang pohon.

Pesan yang bisa saya simak dari cerita teman Jepang ini adalah, cara mengajak orang  untuk peduli pada kegiatan konservasi tidak perlu rumit dan mahal. Selama informasi yang disampaikan menarik dan kreatif, pastilah menjadi media yang luar biasa pengaruhnya. Dongeng dan uchiwa bisa selamatkan Jalak bali lho? Ayo kita selamatkan Jalak putih, spesies endemik Jakarta dengan kreatifitas yang tidak kalah uniknya. Berani menerima tantangan ini? (Edy Sutrisno & Hendra Aquan - TRASHI)