Jumat, 11 November 2011

Kota dan Adaptasi Burung


Koleksi Hidup Taman Margasatwa Ragunan Jakarta (Foto: Ihsan Kusasi)

Kota merupakan habitat penting bagi kehidupan manusia. Lebih dari lima puluh persen penduduk dunia saat ini berada di perkotaan. Tahun 2050, diperkirakan peningkatan urbanisasi global akan mencapai 70 persen. Di Indonesia, penduduk perkotaan tahun 2010 telah mencapai 58 persen.

Diperkirakan, pada 2025 akan mencapai 68 persen. Dengan pertumbuhan populasi yang sedemikian pesat, kota akan menghadapi permasalahan transportasi, lapangan kerja, permukiman, dan perubahan iklim.

Kota telah memberi pengaruh besar terhadap perubahan iklim. Berdasarkan laporan UN Habitat 2011 Global Report on Human Settlements, kota telah menyumbang 70 persen polusi dunia melalui emisi gas rumah kaca. Sumbernya berasal dari konsumsi bahan bakar fosil untuk listrik, transportasi, industri, dan sampah.

Perubahan kota memang tidak dapat dihindari. Bukan hanya manusia yang harus beradaptasi dengan perubahan tersebut, burung pun demikian. Agar dapat bertahan, burung harus beradaptasi yang tentu saja membutuhkan waktu dan korban. Burung harus merubah pola perilakunya mulai dari perilaku sarang, mencari makan, hingga mengenali jenis-jenis ancaman baru yang sebelumnya tidak pernah ditemui.

Tidak semua jenis burung dapat mengadopsi perkotaan sebagai rumah keduanya. Sekitar empat persen saja burung hutan yang dapat beradaptasi, selebihnya sangat sulit. Bahkan jenis-jenis seperti rangkong, ayam-ayaman, dan kelompok burung pelanduk tidak dapat beradaptasi sama sekali dengan lingkungan yang dipenuhi rimba beton kota.

Kajian Jared M. Diamond mengenai adaptasi burung terhadap perkembangan kota di Papua Niugini (1986) dapat menjelaskan. Menurut Diamond, kacamata laut (Zosterops chloris) memerlukan waktu 50 tahun untuk memperluas wilayah jelajahnya hingga ke Kota Wau. Artinya, sang burung membutuhkan waktu lima dasawarsa untuk beradaptasi sejak dibentuknya kota tersebut.

Begitu juga dengan elang bondol (Haliastur indus), yang tahun 1983 mulai makan bangkai hewan pengerat yang mati tertabrak kendaraan bermotor. Sebelumnya elang bondol, harus belajar untuk tidak menjadi korban dengan cara beradaptasi dengan kendaraan bermotor. Jika mereka tetap ngotot menyantap ikan lezat yang menjadi makanan favoritnya, tak ada pilihan lain, elang bondol harus menyingkir ke tempat di mana masih tersedia ikan di perairan yang cukup bersih. Tidak mengherankan, burung yang menjadi maskot DKI Jakarta ini justru tidak bisa bertahan hidup di belantara kota Jakarta. Mereka kini hanya bisa bertahan hidup beberapa pulau kecil di Kepulauan Seribu.

Keberadaan gedung pencakar langit pun memakan korban (burung). Menurut NYC Audubon, lembaga pemerhati burung liar dan habitatnya di New York, lampu yang terlalu terang membuat burung disorientasi saat terbang sehingga mengganggu sistem navigasi. NYC Audubon memperkirakan, sebanyak 90 ribu burung mati setiap tahunnya akibat menabrak dinding kaca gedung.

Perubahan iklim yang berlangsung sangat cepat juga membuat burung kesulitan menyesuaikan diri. Ada burung yang bergantung pada rentang suhu tertentu. Dengan hutan kota yang sehat, yang menyediakan relung hidup yang lebih beragam, burung-burung akan mampu bertahan di antara belantara beton.

Jakarta perlu terus berjuang mengembangkan ekosistem kota yang lebih baik, antara lain dengan meningkatkan Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang saat ini belum mencapai sepuluh persen dari luas wilayahnya. RTH privat serta pekarangan rumah menjadi benteng terakhir bagi Jakarta dalam mempertahankan kawasan hijaunya. Kehijauan di area terbuka ini berfungsi tidak hanya mengurangi emisi, namun juga memungkinkan hidupan liar, seperti burung dan kupu-kupu, dapat hadir kembali.

Sumber : Burung Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar