Lahan garapan warga Sukagalih di tepi hutan kampung yang dijaga kelestariannya |
“Sekarang air di daerah kami mati, tetapi hidran terus bertambah. Sehari kami membutuhkan 10 pikul air, sepikulnya Rp 2.000. Jadi pengeluaran per bulan saya untuk air sangat besar,” kata Sumiarti, warga Muara Baru, Jakarta Utara. Itu adalah sepenggal artikel tentang krisis air Jakarta.
Jika ibu Sumiarti pergi ke kampung Sukagalih, mungkin tidak perlu pusing berapa uang yang harus dikeluarkan untuk beli air. Pasalnya di kampung ini air mengalir sepanjang hari. Jika melihat ke setiap bak penampungan air umum yang ada di kampung ini, bisa dilihat kran air minum yang selalu mengucur setiap saat tanpa henti hingga masuk ke saluran pembuangan kamar mandi.
Kampung Sukagalih, terletak di Kabupaten Sukabumi, merupakan salah satu dari 300an kampung yang ada di dalam dan sekitar Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Kampung ini mulai dibuka menjadi pemukiman oleh 4 kepala keluarga pada tahun 1964, yang kemudian terus berkembang hingga saat ini menjadi 39 kepala keluarga.
Penduduk Sukagalih hidup cukup dekat dengan alam. Kedekatan ini tercermin dari pepatah Sunda yang mengatakan “Leuweung weuteuh masyarakat teu riweuh” dalam bahasa Indonesia berarti “hutan terjaga masyarakat tentram”. Kesadaran warga secara bersama untuk menjaga hutan yang ada di kampung mereka ini, merupakan bentuk kearifan lokal yang sudah tidak dapat ditemukan lagi di sistem bermasyarakat modern warga Jakarta.
Warga Sukagalih memiliki lahan yang sangat luas. Jika mereka ingin mengubah lahan tesebut menjadi ladang atau tempat usaha lainnya tentu bisa saja. Namun mereka rela tidak mengambil lebih dari hak mereka. Alasannya ternyata cukup sederhana, warga Sukagalih menjaga kelestarian hutan demi menjaga kelestarian sumber air yang menjadi tulang punggung kehidupan kampung ini. Tanpa disadari, sikap sederhana ini ternyata memberi dampak besar tidak hanya untuk kampung Sukagalih, namun juga menjamin ketersediaan pasokan air untuk pemukiman yang berada di lokasi lainnya. Ini adalah sesuatu sekali yang harus kita hargai.
Kearifan lokal seperti ini, banyak juga kita temui di masyarakat pedalaman dan penduduk asli Indonesia. Kearifan lokal ini adalah ajaran turun temurun nenek moyang untuk meninggalkan pesan kepada keturunannya agar bersikap ramah dan bijak dengan lingkungan.
Pertanyaan yang timbul kemudian, apakah sikap ramah dan bijak ini masih tetap terpelihara di lingkup pergaulan masyarakat modern yang serba digital saat ini ? Tanpa kita sadari, perbuatan kecil yang kita lakukan, secara tidak langsung sudah menyumbang kerusakan lingkungan secara bersama. Sebut saja perilaku membuang sampah sembarangan di sungai. Hilangnya kearifan manusia modern dengan alam, membuat kepekaan kita akan hak asasi lingkungan semakin terkikis. Jika sudah banjir bandang tiba, yang dilakukan pertama kali adalah mencari kambing hitam tanpa melakukan introspeksi dan pembenahan diri sendiri.
Sebagai manusia modern dan tercerahkan, apakah komitmen kita bersama untuk kembali hidup berdamai dengan alam? Tanpa air setetes, tidak mungkin manusia bisa hidup. Dan tanpa kemurahan tanaman, apakah mungkin kita menghirup asap racun yang kita hasilkan setiap hari? Mulailah mengubah sikap senang merusak menjadi bersahabat dengan alam, seperti pepatah warga Sukagalih “Leuweung weuteuh masyarakat teu riweuh”. (Edy Sutrisno - Transformasi Hijau)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar